I. MENJADI MANUSIA
Dentingan sendok dan piring serta suara obrolan bisik-bisik seolah menjadi pengisi suara dalam keheningan suasana makan bersama di dalam tenda. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul 12 siang, waktu di mana merehatkan jasad yang membutuhkan energi karena lelah bukan kepalang. Namun, ada juga yang menghabiskan waktu untuk bermain dengan yang lain, siapa lagi kalau bukan bocah-bocah yang lincah.
"Mas, tenda yang di ujung sana belum dapat makanan," ujar Andin sembari menunjuk tenda di dekat truk, "saya minta tolong pastikan semua dapat dan diberi instruksi untuk cuci tangan terlebih dahulu ya? Saya mau ke sana tapi kaki saya kesleo," titahnya kepada seorang relawan dan hanya dibalas dengan anggukan.
Andin mengamati setiap pergerakan dari jauh, berniat memastikan bahwa semua korban bencana mendapat asupan energi secara utuh. Ia bernafas lega ketika beberapa insan keluar untuk mencuci tangan dan kembali masuk untuk menyantap makanan.
"Mbak Andin?" panggil seseorang yang berada di belakangnya. Ia berbalik dan reflek merengkuh raga tersebut dengan sangat kukuh. "Mbok ... saya khawatir banget denger berita ada banjir bandang, saya kira Mbok-" ucapan Andin terpotong ketika tangan orang tersebut mengusap punggungnya dengan lembut, seolah mengatakan bahwa ia tidak akan hanyut.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ°°°
Namanya Mbok Parni, sosok yang mengajarkan berbagai hal kepada Andin selama ini. Mulai dari merawat hingga memasuki usia matang terkadang mereka juga tak jarang berdebat. Mbok Parni memutuskan untuk kembali ke desa tempat tinggalnya ketika raganya telah habis ditelan usia. Namun, telapak tangannya masih kuat untuk memijat bahu Andin yang cukup merasakan penat. "Aduh ... rasa pijatannya masih sama, Ibun kalau mijit ngga semantep ini, Mbok." Kekehan dari Mbok rasanya tak cukup mengisi keheningan, akhirnya beliau mengajukan sebuah pernyataan. "Mbak kok masih sama ya, bedanya sekarang sudah lebih berani."
"Sama bagaimana, Mbok?" Andin menyiritkan dahi, pertanda tak mengerti.
"Terjun langsung ke lapangan susah payah, padahal sudah dipastikan nanti nggak bakalan dapat upah." Penuturan Mbok Parni membuat Andin melihat ke arah awan sembari menyunggingkan senyuman.
"Padahal Mbak Andin tuh tinggal duduk di depan komputer saja sudah berkecukupan dan nggak bikin badan terlalu kecapekan," ucap Mbok Parni sambil menabok bahu Andin pelan tapi berhasil membuatnya mengaduh.
"Hehe, gimana ya Mbok? Seengaknya walaupun ayah nggak melihat saya perlahan-lahan tumbuh menjadi 'manusia'. Gusti Allah memberi cahaya terang dan tempat untuk mendiang yang layak serta lumayan lapang melalui perbuatan saya."
"Bukannya Mbak Andin ini sudah menjadi manusia ya. Maksudnya menjadi manusia itu bagaimana?" tanya Mbok Parni heran.
"Definisi manusia itu bukan yang hanya makan, tiduran, membuang kotoran. Melainkan juga memberikan sanak saudara sebuah uluran tangan," Andin menyelipkan beberapa helai rambut sebagai jeda percakapan yang kemudian ia kembali melanjutkan, "mendiang berpesan kepada saya. Semakin Andin tinggi, semakinlah Andin merunduk. Bukannya malah makin menghiraukan tindak tanduk. Karena manusia hidup tidak sendiri, jadi jangan berlagak seperti satu-satunya yang memiliki sertifikat di bumi."
Komentar
Posting Komentar